Pendidikan dari sudut pandang saya
“Orang Hebat bisa melahirkan banyak karya bermutu, dan guru yang baik bisa melahirkan banyak orang hebat”
Saya awalnya tidak punya sama
sekali cita-cita jadi guru. Kebiasaan saya semasa sekolah adalah dimusuhi
banyak guru. Tidak bohong, sedari SD, bocah gendut nan bengal ini menjadi momok
bagi banyak guru. Tanyalah sana sama orang-orang yang pernah kebagian mengajar
saya.
Saya bahkan pernah berkelahi dengan salah satu guru saya di SMP. Ustadz Nurhamdi namanya, beliau benar-benar
menangis saat itu. Barangkali geram dengan sikap iblis cilik dalam diri anak kecil keturunan arab ini.
Haha, tapi setelah pertengkaran itu saya malah menjadi orang terdekat dia, saya
berani bilang bahwa Ustadz Nurhamdi adalah bapak saya semasa di
pesantren. Cerita-cerita yang ustadz nurhamdi berikan, sikap teladan, dan
kesabaranya benar-benar mengubah sikap saya menjadi… lebih bejat. Enggalah,
jadi lebih baik dong.
Jujur saya sangat bangga dengan
diri saya pada masa itu. Apa yang saya lakukan adalah bentuk protes saya
terhadap metode ajar para guru. Saya sangat bosan dan merasa tidak berkembang
kala itu.
Menurut saya, kreatifitas, pola pikir kritis, dan belajar menyelesaikan masalah adalah pendidikan yang paling penting yang harus diajarkan untuk anak sekolah. Karena masa sekolah adalah masa dimana kita mencari jati diri dengan perubahan biologis tubuh yang cepat. Semua itu sepertinya kurang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Menurut saya, kreatifitas, pola pikir kritis, dan belajar menyelesaikan masalah adalah pendidikan yang paling penting yang harus diajarkan untuk anak sekolah. Karena masa sekolah adalah masa dimana kita mencari jati diri dengan perubahan biologis tubuh yang cepat. Semua itu sepertinya kurang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Mengapa begitu? Karena untuk bisa
bertahan hidup manusia tidak hanya dituntut menyampaikan apa yang diketahuinya,
mereka dituntut bisa memanfaatkan dan mengamalkan pengetahuanya untuk
memecahkan masalah. Disitulah kreatifitas diperlukan. Kreatifitas berarti
memahami bagaimana caranya meng-“create” (membuat) sesuatu dari apa yang diketahui.
Untuk bisa mencapai itu, perlu
pemikiran yang kritis dan mendalam. Berpikir kritis adalah suatu proses rasional
yang bertujuan untuk membuat keputusan apakah meyakini atau melakukan sesuatu.
Kritis berarti teliti dan mendalam dalam mempelajari sesuatu. Hal ini sangat diperlukan agar bisa bertahan di era digital, dimana informasi bertebaran dan buram antara baik-buruk, benar-salah-nya. Berpikir kritis menjadi kompas bagi kita agar tidak tersesat menerima informasi yang salah dan menyesatkan.
Kritis berarti teliti dan mendalam dalam mempelajari sesuatu. Hal ini sangat diperlukan agar bisa bertahan di era digital, dimana informasi bertebaran dan buram antara baik-buruk, benar-salah-nya. Berpikir kritis menjadi kompas bagi kita agar tidak tersesat menerima informasi yang salah dan menyesatkan.
Dari situ, saya ada sedikit
keinginan untuk membangun pesantren atau sekolah sendiri dengan sistem yang
berbeda. Saya ingin mengantarkan anak didik saya agar bisa bertahan pada
zamanya nanti. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.A “didiklah anakmu pada
zamanya”
Saya juga ingin mengantarkan mereka
pada cita-cita-nya. Tapi sesuai dengan
bakat dan renjana (read : Passion) masing-masing. Terngiang kata-kata Albert
Einsten dalam benak saya “kalau kamu mengajarkan ikan bagaimana caranya
memanjat pohon, maka ia akan merasa bodoh seumur hidupnya”
Doakan, kawan.
Kala itu saya ditugaskan oleh
pondok pesantren “berdakwah” di pelosok magelang. Tepatnya di lereng merapi
semasa Ramadhan sebulan penuh. Pasalnya, daerah ini butuh sekali guru Agama
Islam karena Islam menjadi warga minoritas di sana. Saya diberangkatkan tahun 2014 saat itu.
Menjadi guru ngaji kampung, Imam Masjid, sekaligus “petani magang”.
Masa itu adalah pertama kalinya saya menjadi “guru” buat orang lain. Tentu awalnya sangat mendebarkan berdiri dihadapan orang sekampung, memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan jauh-jauh datang dari kota. Untungnya, warga setempat menyambutnya dengan baik. Saya dipercaya menjadi Imam sholat 5 waktu, khotib Jum’at, guru ngaji, sekaligus memberikan ceramah setiap hari selama sebulan penuh.
Masa itu adalah pertama kalinya saya menjadi “guru” buat orang lain. Tentu awalnya sangat mendebarkan berdiri dihadapan orang sekampung, memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan jauh-jauh datang dari kota. Untungnya, warga setempat menyambutnya dengan baik. Saya dipercaya menjadi Imam sholat 5 waktu, khotib Jum’at, guru ngaji, sekaligus memberikan ceramah setiap hari selama sebulan penuh.
Hal yang menjadi masalah dengan muslim di kampung itu adalah keterlibatan anak mudanya kepada kegiatan keislaman di sana. Kebanyakan yang menjalani sholat Jama’ah, taraweh, serta kegiatan agama lainya didominasi oleh mereka yang sudah tua. Jarang sekali anak muda terlibat.
Maka tugas saya bertambah, bagaimana membentuk ekosistem yang menyenangkan di dalam masjid agar anak mudanya mau turut membangun dan meramaikan masjidnya. Akhirnya meniru kebiasaan masjid di Kota-kota, saya membentuk organisasi remaja masjid.
Bersambung yak, let me know kalo mau tau lanjutanya wkwkwkw
Komentar
Posting Komentar